A. Latar Belakang
Kesenian merupakan produk budaya suatu bangsa, semakin tinggi nilai kesenian satu bangsa maka semakin tinggi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian tidak pernah lepas dari masyarakat, sebab kesenian juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan segala bentuk ungkapan cipta, rasa dan karsa manusia.
Kesenian sebagai ungkapan kreativitas manusia akan tumbuh dan hidup apabila masyarakat masih tetap memelihara, memberi peluang bergerak, serta menularkan dan mengembangkan untuk kemudian menciptakan sesuatu kebudayaan baru. Sebagai produk budaya yang melambangkan masyarakatnya maka kesenian akan terus berhadapan dengan masyarakat dalam arti kesenian menawarkan interpretasi tentang kehidupan, kemudian masyarakat menyambutnya dengan berbagai cara (Yandri, 2009:158).
Kehidupan manusia dalam setiap bangsa dan kelompok suatu etnik manapun mempunyai kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan tersendiri serta mempunyai bentuk kesenian berbeda dalam mengungkapan rasa keindahan. Pengungkapan rasa keindahan itu dengan bebagai cara baik mengekpresikan dirinya dengan seni ukir, seni sastra, dan seni suara. Kesenian adalah unsur penyangga kebudayaan, eratnya kaitan dengan kebudayaan suatu masyarakat sehingga sering digunakan sebagai media penyebarluasan ajaran kepercayaan dan disamping sebagai media hiburan (Kayam, 1981:39).
Menurut Williams dalam Mudji, (2005:7) kata kebudayaan “(culture) merupakan salah satu dari tiga kata yang paling komplek penggunaannya dalam bahasa Inggris. Pada awalnya “culture” dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation), yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan istilah kultus atau “cult”). Sejak abad ke-16 hingga ke-19 istilah ini mulia diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-sikap perilaku pribadi lewat pembelajaran.
Kebudayaan, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultur berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu kebudayaan sangat beragam. Hal ini seperti peryataan Kroeber dan kluckhohn (Alisjahbana, 1986:207-208) dalam Endaswara, 2006:4) menyebutkan definisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi tujuh hal, yaitu :
Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang komplek, meliputi hukum, seni, moral, adat istiadat dan segala kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga, menekankan kebudayaan yang bersifat normatif, yaitu kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Kelima kebudayaan dipandang sebagai struktur, yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Ketujuh, definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem.
Ditegaskan kembali menurut Marwoto, (2009:73) pada hakekatnya kebudayaan merupakan hasil budi dan daya manusia yaitu mengangkat derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi di antara makhluk Tuhan yang lain, seperti rumput, hewan. Dengan kebudayaan dapat mengetahui tingkat peradaban manusia. Namun perlu disadari bahwa tingkat kebudayaan banyak ditemukan oleh kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan alam sekitar lingkungan dimana mereka tinggal dan hidup.
Kebudayaan sering menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan, karena mempunyai nilai yang begitu tinggi dalam suatu kelompok. Seperti yang disebutkan bahwa dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia.
Begitu juga kebudayaan masyarakat Gayo ditemukan oleh masyarakat Gayo dan dijadikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini. Menurut Hakim, (1998:8) Adat istiadat sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedele (Kemulian karena Mufakat, Berani Karena Bersama), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi susun lagu belo (Bersatu Teguh) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak batin) atau tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan, banyak lagi kata-kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga menghargai serta menunjang pelaksanaan agama.
Kebudayaan Gayo sangat beragam mulai dari tarian, musik, dan teater. Tarian yang terdapat pada masyarakat Gayo adalah tari Saman, tari guel, Tari bines, tari munalo Didong,Tari Sining, Tari Turun Ku Aih Aunen, Tari Resam Berume, Tuak Kukur, Melengkan dan Dabus. Unsur kebudayaan yang ada di Gayo sangat berkaitan erat dengan Al Qur`an dan Hadist. Kehidupan masyarakat Gayo yang menjadi panutan ataupun pedoman adalah Al Qur`an dan Hadist sehingga diterapkan didalam kebudayaan Gayo, adat istiadat maupun sistem pemerintahannya.
Masyarakat Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga semua bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem pendidikan semua berlandaskan Agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:19), sebelum Agama Islam masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat sebelumnya menganut animisme. Agama Islam masuk ke Perlak Aceh pada abad ke-8 Masehi, suku Gayo yang bermukim disana secara berangsur-angsur mulai memeluk Agama Islam.
Ajaran Islam didakwahkan ke kerajaan Lingga (Lingge) Gayo oleh ulama kerajaan Perlak, pada tahun 181 atau 808 Masehi. Menurut Mahmud Ibrahim, 2007:19), Agama Islam pertama kali dibawa oleh orang-orang Arab, Persia, Gujarat dan India, mereka berdakwah pada masyarakat Gayo sehingga masyarakat Gayo menerima ajaran Agama yang dengan baik.
Setelah kedatangan Agama Islam ke daerah Lingga (Lingge). Raja Lingga (Reje Lingge) beserta masyarakatnya menganut ajaran Islam dengan baik. Tidak lepas pula dalam keluarga raja Lingga, raja Lingga mempunyai enam orang anak, yaitu Tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, Sebayak Lingga, Meurah Johan/ Johansyah, Meurah Silu / Malikussaleh, Meurah Lingga, dam Meurah Mege (Ensiklopedia Aceh, 16 Juni 2009).
Kerajaan Lingga (di Buntul Linge, Tanah Gayo) lebih dulu mengenal Islam daripada kerajaan-kerajaan di Aceh. Disebutkan juga Raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan raja Lingga (Seuramoe Aceh, 24 Januari 2010).
Anak raja Lingga (Lingge) Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri disana dan dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Sedangkan Meurah Lingga tinggal di Lingge Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Lingaa turun termurun.
Muerah Lingga menjabat menjadi raja Lingga ke-2, sampai dengan ke-8. Raja Lingga ke-8 menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor Baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga 8 diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut.
Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasuk (Singapura) dan sedikit wilayah (Malaya) Malaysia (Ensiklopedia Aceh, 16 Juni 2009).
Anak raja Lingga yang lain seperti Meurah Silu / Sultan Malikussaleh (dalam bahasa Arab), dia merupakan orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara.
Sedangkan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama yang memimpin Kesultanan Kutereje / Kerajaan Aceh Darussalam (Seuramoe Aceh, 24 Januari 2010). Meurah Johan / Johansyah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dari tahun 1205 Masehi / 601 Hijriah sampai tahun 1234 Masehi.
Masyarakat Gayo menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat oleh dasar agama dan adat istiadat secara terpadu. Prinsip itu dituangkan dalam 45 pasal adat masyarakat kerajaan Lingga (Lingge) yang ditetapkan dalam musyawarah merah (reje), ulama, pemimpin adat dan cerdik pandai.
Pada tahun 1115 M Setelah melalui proses panjang selama tiga setengah abad. Prinsip dimaksud dapat dihayati dari ungkapan adat seperti (Agama urum edet, lagu zet urum sifet, agama kin senuwen, edet ken peger) artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat, agama sebagai tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa keterpaduan di antara adat dan syaria`at Islam sangat erat dan saling menunjang. Fungsi adat untuk menunjang pelaksanaan ajaran Agama Islam (Mahmud Ibrahim, 2005: 5).
Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah di kehidupan masyarakat sehingga faktor budaya, pendidikan, dan kesenian selalu berkaitan dengan Agama dan norma yang ada. Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam kehidupan sehari hari. Ini dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa berjalan dengan agama, karena ( kuet edet muperala agama, rusak edet rusak agama) kuat adat semakin teguh agama, rusak adat rusak agama dan semua sistem masyarakat.
Masyarakat Gayo tidak hanya mengenal sistem adat, nilai norma tetapi juga mengenal sistem nilai budaya Gayo. Menurut C. Snock, 1996:XII), Sistem nilai ini yang selalu harus dijaga dan direalisasikan dalam masyarakat. Karena faktor ini sangat berpengaruh pada sistem baik secara individu maupun sistem bermasyarakat dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat Gayo mempunyai skema sistem nilai budaya Gayo, yaitu :
Keterangan :
M : Mukemel (Harga diri)
Tp : Tertip (Tertib)
St : Setie (Setia)
Sg : Semayang-Gemasih (kasih sayang)
Mt : Mutentu ( Kerja keras)
An : Amanah (Amanah)
Gm : Genap Mufakat (Musyawarah)
At : Alang Tulung (Tolong menolong)
Bs : Bersikemelen (Kompetitif)
Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi sebuah nilai ”utama” yang disebut ”harga diri” (mukemel = M). Untuk mencapai harga diri itu, seseorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai penunjang. Nilai-nilai penunjang itu adalah ”tertib” (Tp), ”setia”.
B. Pembahasan
Etnik Gayo merupakan satu suku tang terdapat didataran tinggi Gayo, yaitu berada di jantung Provinsi Aceh. Masyarkat Gayo merupakan bagian dari melayu tua, menelusuri asal usul orang Gayo, tidak banyak sumber atau artefak, yang ada hanya cerita atau yang dikenal dengan istilah Kekeberen atau cerita turun temurun dari keturunan Raja Lingga (Reje Lingge). Asal suku Gayo adalah dari negeri ROM (Romawi). Masyarakat Gayo istilah Romawi sangat sulit disebut jadi disingkat dengan istilah ROM. Raja permata kerajaan Lingga adalah anak dari raja Romawi kuno, bertempat dikota Istambul Turki. Begitu juga dengan asal kata Lingge yang artinya adalah suara. Karena menurut pendapat masyarakat tersebut, Reje Lingge (Raja Lingga) mendengar suara tetapi tidak ditemukan dari mana arah suara tersebut. Sehingga raja Lingga (Reje Lingge) memberi nama kerajaannya dengan nama Lingge (suara). Raja Lingga (Reje Lingge) bernama Adi Genali (Mahmud Ibrahim 2007:14).
1. Sistem kepercayaan
Latar belakang sejarah Gayo, semua suku Gayo yang ada sekarang berasal dari satu kerajaan, yaitu kerajaan Lingga (Lingge) yang berpusat di Nenggeri Antara yaitu Lingga (Lingge), sekarang berada di kecamatan Isak Takengon Aceh Tengah. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:12) Kerajaan Lingga (Lingge) dahulu menganut sistem kepercayaan yaitu animisme, sedangkan raja (reje) menganut Agama Budha. Pada abad ke-8 Islam baru masuk ke dataran tinggi Gayo yaitu dibawa oleh para pedagang melalui Perlak, sehingga sampai di Kerajaan Lingga (Lingge). Agama Islam di bawa kekerajaan Lingga (Lingge) adalah Syech Abdul Khadir dan pedagang lainnya. Islam berkembang pesat sampai sekarang di dataran tinggi Gayo.
2. Sistem mata pencaharian
Topografi alam yang berlembah lembah, berbukit-bukit dengan hamparan kopi. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani kopi, peternak, palawija, home industri, nelayan dan pedagang. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:60) Yang menonjol di dataran tinggi Gayo adalah perkebunan kopi yang sangat bagus, juga didukung dengan tanah yang subur dan udara yang sejuk. Dataran tinggi Gayo merupakan penghasil kopi terbesar diprovinsi Aceh, rata-rata kopi yang dihasilkan diekspor keluar negeri seperti Jepang, Jerman, singapura, Malaysia, Amerika, dan Belanda
Dataran tinggi Gayo juga terkenal dengan hasil palawijanya yang mengisi semua sektor pasar di provinsi Aceh, rata-rata hasil palawija yang dihasilkan dikirim ke ibukota provinsi untuk menunjang kebutuhan masyarakat perkotaan.
Dataran tinggi Gayo memiliki berbagai potensi yang dikembangkan masyarakat, ini tergantung pada tempat dan kondisinya, karena tidak semua lahan yang ada dataran tinggi Gayo dapat ditanam perkebunan kopi, ada beberapa sektor yang dipakai sebagai tempat untuk berternak, seperti daerah Isak, Lingge, dan Lumut di kecamatan Isak, mayoritas penduduk disini mengembala ternak, seperti, kerbau, sapi, domba, biri-biri, dan kambing.
Sektor pariwisata, di dataran tinggi Gayo mempunyai danau laut tawar, pantai menye, goa putri pukes, legenda loyang Datu, makam Reje Lingge, home industri, air terjun, pantan terong, kuliner belum lagi di daerah kabupaten Bener Meriah, Gayo Lues dan lainnya. Objek wisata ini juga merupakan penunjang mata pencaharian masyarakat sekitar (Wikipedia, 15 September 2010).
3. Bahasa
Suku yang mengunakan bahasa Gayo tergolong sebagai suku bangsa asal yang mendiami dataran tinggi Gayo, yaitu wilayah bagian tengah provinsi Aceh. Wilayah pemukiman mereka terbagi kedalam tiga kelompok. Pertama kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah yang disebut Gayo Lut atau Gayo deret, kedua kabupaten Gayo Lues atau Gayo Belang, dan yang ketiga adalah kabupaten Aceh Timur disebut dengan Gayo Kalul atau Gayo Serbejadi.
Terjadinya pengelompokan ini karena letak geogerafisnya yang relatif jauh terpisah serta tidak tersedianya sarana tranportasi penghubung antar ketiga kelompok tersebut pada zaman dahulu. Keadaan ini menimbulkan anggapan seolah-olah etnik Gayo itu terpisah satu sama lainnya. Sarana penghubung yang tidak tersedia dalam jangka waktu yang panjang telah menyebabkan masing-masing kelompok tersebut mengembangkan variasi-variasi kebudayaannya (Melalatoa : 1982). Variasi ini muncul sesuai dengan fisik dan lingkungan sosial yang berbeda. Hal ini terlihat adanya perbedaan kecil antar ketiga kelompok tersebut, misalnya dalam bentuk kesenian dan dialek lingguistik.
4. Kesenian
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu, sebuku (pepongoten), dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena orang Gayo kaya akan seni budaya.
5. Adat Istiadat
Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunyai sistem adat, begitu juga di dataran tinggi Gayo mempunyai adat sesuai dengan kepercayaan yang di anutnya. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:5) pada sekitar tahun 1115 M, raja (reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh penduduk Negeri Lingga (Negeri Lingge) disebut “petu Merhum Mahkota Alam” untuk pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para ulama dan pemimpin masyarakat lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di istana raja Lingga (reje Lingge) Umah Adat Pitu Ruang Nenggeri Lingge oleh raja Petu Merhum Mahkota Alam. Semua adat terdiri dari 45 pasal berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat istiadat dari zaman dahulu hingga sekarang tetap dilakasanakan pasal demi pasal dalam semua keadaan mengenai keadatan.
Empat puluh lima pasal adat negeri Lingga (edet Nenggeri Lingge), munatur murip sibueten sarak opat, kin penguet ni akhlak menegah buet, menyoki belide remet, melumpeti junger, mubantah hakim, menumpang bele,, munyugang edet i engon ku bekase (tata krama dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan, supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
Kata kiasan adat berbicara tidak mutlak-mutlakan, berjalan memakai tongkat, hakikat sesuatu disimpan dengan baik, syariat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam mengenal mana yang hak mana yang batil sementara adat membedakannya. Sesuatu yang wajib harus dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
Adat istiadat masyarakat Gayo semua unsur, mulai dari hal yang terkecil sampai yang terbesar mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Menurut Hakim, (1998:12-13) fungsi dari adat dan makna adat adalah:
1. Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai kebiasan-kebiasaan. Adanya adat dikarenakan manusia hidup berkelompok-kelompok, lalu membuat berbagai keputusan disebut peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka dan dipandang sebagai undang-undang tanpa tertulis.
2. Adat Gayo bernilai spiritual dan beriorientasi kepada ahlakulkarimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar (salah bertegah benar berpapah). Adat Gayo, jelas menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak adat adalah habluminannas.
3. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial) masyarakat, terikat dengan : “murip ikanung edet, mate ikanung bumi, murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati dikandung bumi / tanah, hidup harus benar, mati harus suci).
4. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagi suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku atu mulabang ke papan” (sudah melembaga).
5. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing, berfungsi laksana undang-undang.
6. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuatu perbuatan.
7. Adat Istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Seperti kata pepatah, bahwa agama dengan adat seperti zat dengan sifat. Dalam bahasa berbunyi sebagai berikut:
“Edet mugenal hukum mubeza
Kuet edet muperala agama
Rengang edet benasa nama
Edet menukum musifet ujud
Ukum munukum musifet kalam
Edet sifetni resam, resam itinyo edet
Edet atan astana, hukum atan agama
Dewe hadis ulaken ku firman
Dewe edet ulaken ku empuwe
Edet turah berujud
Fiil turah berupe
Semi turah bertubuh”
“(Adat mencari hukum dijadikan neraca
Bila kuat adat terpeiharalah agama agama
Renggang adat rusaklah nama
Adat menghukum bersifat wujud
hukum menghukum bersifat pasti
Adat sifatnya resam, resam ditinjau adat
Sumber adat dari istana, hukum dalam agama
Berselisih pendapat tentang hadist kembalikan ke firman
Berselisih pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya (yang membuatnya Reje, petue, ulama dan masyarakat)
Adat harus dibuktikan
Fiil harus mempunyai rupa
Semi harus bertubuh (Hakim, (1998:14)
Dari pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa adat didalam masyarakat Gayo sangat kuat dan harus direalisasikan, jika suatu adat menjadi keliru maka akan dikembalikan kepada Al Qur`an dan yang membuat adat tersebut.
6. Sistem kemasyarakatan
Sistem yang ada didataran tinggi Gayo dahulu dikenal dengan sistem kerajaan, yang dikenal dengan dinasti Lingga. Sistem pemerintahan kerajaan / tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu), terdiri dari: raja (Reje),Orang yang dituakan (Petue), Imam (Imem), dan rakyat (Rayat). Mahmud Ibrahim, (2007:63) menyatakan adapun sarak opat tersebut adalah:
1. Raja (Reje:kepala pemerintahan), musuket sifet (berfungsi memelihara keadilan di kalangan rakyatnya).
2. Ulama (Imem), muperlu sunet (berkewajiban membimbing dan melaksanakan ajaran Agama Islam terutama yang fardhu dan sunat yang baik).
3. Petue (orang yang dituakan dan dipandang berilmu), musidik sasat (meneliti dan mengevaluasi keadaan rakyat / masyarakat).
4. rakyat (Rakyat), genap mufakat (bermusyawarah dan mufakat bagi kepentingan negeri atau seluruh masyarakat).
Reje (raja) dan Imem (ulama) memiliki fungsi dan berperan sangat penting dalam pemerintahan, karena raja (Reje) melaksanakan prinsip : edet mu nukum bersifet wujud (adat menjatuhkan hukuman karena ada bukti yang jelas). Imem (ulama) melaksanakan prinsip : ukum mu nukum bersifet kalam (hukum Islam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan Sunnah Rasulullah).
Keduanya harus serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan : Agama iberet empus, edet ibarat peger (Agama seperti kebun / tanaman, edet seperti pagar tanaman. Menurut Melalatoa dalam Zainal Abidin, (2002:27) masyarakat Gayo sebagai mana masyarakat Aceh lainnya adalah masyarakat yang tergolong taat menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini karena adanya pemahaman ditengah-tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal dari dua sumber, Pertama sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan nilai, norma-norma yang kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaan yang tidak mengikat yang disebut resam, Kedua sumber Agama Islam berupa Akidah, sistem keyakinan, nilai-nilai dan kiadah-kaidah agama disebut dengan hukum.
Di samping itu suku Gayo juga mengenal prinsip-prinsip adat yang mereka anut. Hal ini untuk meluruskan prinsip-prinsip adat yang ada, Zainal Abidin (2002:28) menyatakan bahwa prinsip-prinsip adat tersebut meliputi empat hal yaitu:
1. Dunie terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak atas wilayah
2. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah
3. Bela mutan adalah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau di ganggu
4. Malu tertawan adalah harga diri yang terusik karena kaum wanita atau kelompoknya diganggu atau difitnah orang lain.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim.).
Pada masa sekarang sistem pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan nasional. Yang membedakan dengan daerah lain yang ada di Indonesia yaitu terdapat beberapa buah mukim. mukim merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Pada pemerintahan yang ada di dataran tinggi Gayo tidak mengenal dengan sistem RT / RW yang ada hanya satu bagian yang disebut sebagai Dusun, dipimpin kepala Dusun dan perangkatnya.
7. Ilmu pengetahuan
Sistem dalam masyakat Gayo dahulu mengenal beberapa teknologi yang manual, seperti dalam bertani, masyarakat mengunakan tenaga kuda, kerbau dalam mengarap sawah. Begitu juga dengan yang lain seperti kerajinan, yaitu seni arsitektur, seni ukir, sulaman, anyaman, dan seni keramik. Dahulu masyarakat selalu mengunakan peralatan tradisonal.
Perkembangan zaman yang semakin canggih tidak mengurangi keinginan untuk mengikuti tantangan zaman. Yaitu masyarakat sudah beralih mengunakan alat yang lebih modern untuk mengembangkan penghidupan dan kesejahteraan.
Para petani yang dahulu mengunakan tenaga kuda / kerbau beralih mengunakan mesin traktor untuk mengarap sawah, para pengrajin dari alat manual beralih ke alat modern.
C. Penutup
a. kesimpulan
Masyarakat tidak pernah lepas dari lingkungan budaya, karena masyarakat Gayo selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sistem dalam masyarakat Gayo mengenal sistem pemerintahan, adat istiadat, teknologi, budaya, bahasa dan religiusitas. Semua itu merupakan sistem yang ada di dataran tinggi Gayo.
Pemerintahan masyarakat Gayo zaman dahulu dikenal dengan Sarak Opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu). Adapaun perangkatnya yaitu; raja, imam, petue dan masyarakat. Lembaga ini yang selalu mengurus dan membina masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dataran tinggi Gayo.
Peralihan dari sistem kerajaan merupakan sebuah revolusi yang terjadi di dataran tinggi Gayo, walaupun perubahan yang terjadi tetapi nilai adat dan nilai budaya tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo. Nilai adat, budaya selalu menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. 2002. Makna Simbolik Warna dan Motif Kerawang Gayo pada Pakaian Adat Masyarakat Gayo. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hakim, AR. 1998. Hakikat nilai-nilai budaya Gayo. Takengon : Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah
Herum Marwoto, Otok. 2009. Mitos Wayang Kulit Keramat Dilereng Gunung Merbabu. Yogyakarta : Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sebuah Makalah.
Ibrahim, Mahmud.2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqamamahmuda Takengon.
Tamraj, Mahmud, dkk. 1998. Senirupa Aceh. Aceh.
Yandri. 2009. Pengaruh Budaya Global dalam Lokalitas Budaya Tradisi. Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sebuah makalah
www.google.Ensiklopedia Aceh, 16 Juni 2009), diakses 13 Januari 2011
http://athawilaga Grafis.blogspot.com
gak ada sistem teknologi ya ?
BalasHapus