Urang Gayo Harus Cepat Bertindak , Bila Tidak Tahun 2010
Bahasa Gayo Diperkirakan Punah
Takengon- Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang dipakai di Aceh. Meski merupakan bagian dari Aceh, namun bahasa gayo berbeda dengan bahasa Aceh. Bahasa gayo dipakai oleh minoritas penduduk Gayo yang tinggal di pedalaman Aceh, khususnya kawasan pegunungan .
Seperti gayo Lut (Takengon-Bener Meriah), Gayo Deret (Lukup Serbejadi –Aceh Timur), Gayo Lues (Blang Kejeren) serta di beberapa lokasi lainnya di Aceh yang tersebar. Diantaranya, Lhok Gayo di Aceh Selatan dan sejumlah daerah lainnya.
“Bahasa Gayo pada tahun 2016 diperkirakan akan hilang”, tegas M.Jihad, seorang warga Kecamatan Bintang, dalam acara sharing dengan penulis tata bahasa Gayo, ( A grammar of Gayo, a language of Aceh, Sumatera) yang dikarang Dr.Domenyk Eades.BA (Hons) Ph D (Melb) , Asistent Professor, Lecturer in Linguitic and Translation Studies. College of Arts and Social Sciences, Sultan Qaboss University, Jum’at malam (11/7) di Gedung Bale Pendari yang digagas Teater reje Linge. Dihadiri oleh seniman, budayawan, mahasiswa dan tokoh masyarakat
Alasan M.Jihad dilatari beberapa alasan. Diantaranya , tidak konsistennya mayarakat suku Gayo memakai bahasa Gayo dalam komunikasi sehari-hari dan lebih suka memakai bahasa Nasional Indonesia dan terlalu toleran. Selain itu , peran Pemerintah seperti Pemkab dan DPRK juga tidak ada dalam melestarikan bahasa Gayo, yang ditandai dengan kebijakan atau qanun.
Itupula yang menjadikan Domenyk Eades yang kini namanya sudah berganti dengan Yusuf setelah mengucapkan duakalimah syahadat. Diterangkan Domenyk, bapak tiga anak yang kini menjadi Asisten Profesor di Universitas Sultan Qaboos Oman, awalnya Yusuf datang ke Aceh mengajar bahasa Inggris dan mengambil S-1 nya tentang bahasa Aceh dan S-3, tentang bahasa Gayo.
“Minimnya literature tentang Gayo membuat saya tertarik mempelajari bahasa Gayo”, ujar Yusuf dihadapan puluhan peserta tidak resmi malam itu. Guna melestarikan bahasa Gayo, menurut Yusuf, saat ini perlu ditulis buku dalam bahasa Gayo dan kembali menuliskan dongeng, sejarah dan budaya dari nara sumber yang masih hidup, bila tidak ingin bahasa Gayo hilang.
“Begitu banyak sudah bahasa hilang di dunia. Akankah bahasa Gayo juga demikian”, Tanya Yusuf pada Zulfikar Ahmad ST , staf Bappeda yang mendampingi Yusuf dalam bahasa Inggris.
Kembali ke M.Jihad yang mengkuatirkan hilangnya bahasa Gayo dari bahasa di dunia. Menurut Jihad, bahasa Gayo adalah asset atau harta yang kaya akan kosa kata. “Bahasa Gayo kaya nama”, ujar Jihad sambil mencontohkan, satu kata bahasa Indonesia untuk duduk saja, dalam bahasa Gayo ada tiga padanan. Yaitu, kunul, tempoh,semile.
Menurut M.Jihad meski tidak diundang dalam acara tersebut, namun dia sengaja hadir setelah mengetahui acara tersebut dari orang lain karena dianggapnya penting. Bahkan lebih esktrim, dikatakan Jihad, sebelum Rasulullah SAW lahir, tutur bahasa Gayo yang lebih dikenal dengan sebutan “peri berabun”, sudah ada.
Meski sudah 10 tahun lalu Domenyk melakukan penelitian tentang bahasa Gayo, namun dalam acara tidak resmi membahas buku tata bahasa Gayo karya Domenyk alias Yusuf, disepakati dengan bahasa Gayo.
Dalam diskusi berbahasa Gayo tersebut, tenyata banyak kalangan mahasiswa dan para hadirin yang justru kesulitan berbahasa Gayo secara penuh dan masih mencampurnya dengan bahasa Indonesia . “Ini suatu bukti dan argument, sudah banyak kosa kata bahasa Gayo yang tidak lagi digunakan dan cenderung hilang”, papar M.Jihad.
Menurut Domernyk, sejak melakukan penelitian sepuluh tahun silam, sudah ada masyarakat Gayo yang tidak lagi peduli akan budaya , bahasa dan sejarah Gayo karena dianggap tidak berfaedah.
“Kalau bahasa Gayo hilang, maka identitas Gayo juga akan hilang.Masyarakat Gayo akan kehilangan identitas”, tegas Domenyk. Untuk itu, karena bahasa adalah identitas, mulai sekarang, lanjut Domenyk orang Gayo mulai sekarang harus ajarkan anak-anak generasi Gayo berbahasa Gayo dan mulai mengajarkan budaya Gayo.
“Buku dalam bahasa Gayo bisa mendidik anak-anak Gayo untuk tidak kehilangan jatidirinya”, papar Domenyk. Kini, dengan bukunya Yusuf, A grammar of Gayo, a language of Aceh, Sumatera, bahasa Gayo sudah dipelajari di sebuah universitas di Jerman dalam program Linguistic.
Yusradi Algayoni, salah seorang mahasiswa terbaik USU versi Sampoerna yang kini sudah menyelesaikan Biografi seniman terkenal Gayo, Drs.AR Moese, menjelaskan dia pernah mengumpulkan 60 koleksi buku tentang Gayo dan sekarang sedang membuat kamus bahasa Gayo yang dikumpulkannya berjumlah 6670 kata.
Yusradi meminta agar buku Domenyk tentang tata bahasa Gayo diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia . Namun menurut Domenyk, hal itu harus diminta ijinnya dengan penerbit yang menangani bukunya.
Kebanyakan para mahasiswa dan peserta yang hadir merasa malu karena bahasa Gayo diteliti bukan oleh masyarakat Gayo, tapi justru diteliti oleh orang luar seperti Domenyk.
Zamzam Mubarak, seorang mahasiswa Gayo di Jakarta , mempertanyakan asal muasal bahasa Gayo karena Gayo dianggap mempunyai sebuah peradaban yang besar. Menurut Domenyk, bahasa Gayo masuk dalam kelompok Austronesia . Bahasa Gayo berhubungan dengan bahasa Nias, Mentawai dan Bahasa Batak.
Iwan Bahgie, penyelenggara acara sharing dengan Domenyk menyatakan bahwa acara digelar demi melestarikan bahasa Gayo. “Setelah mendapat informasi dari Zulfikar Ahmad tentang kehadiran Domenyk bersama keluarganya di Takengon dalam rangka liburan, kami ditawari menjadi pasilitator”, ungkap Iwan.
Di tempat terpisah, Yuhdi Saffuan, alumni Universitas Indonesia yang kini menetap di Takengon, menyatakan, Almarhum, Prof. Yunus Melalatoa, pernah menyatakan dalam sebuah forum mahasiswa Gayo se Indonesia di Yogyakarta tahun 2002 bahwa bahasa Gayo termasuk salah satu bahasa yang akan hilang karena dipengaruhi budaya dan bahasa luar.
“Menurut Prof. Yunus Melalatoa, diperkirakan tahun 2010 keatas bahasa Gayo telah sampai pada titik kritis. Salah satu contohnya jika bertanya pada anak-anak masyarakat Gayo yang berada di perkampungan, sebutan Ama untuk panggilan Bapak, sudah tidak lagi diketahui anak-anak lagi”, ungkap Yuhdi menirukan kekuatiran Prof. Yunus Melalatoa, seorang Antropolog UI.
Dikatakan Yuhdi Saffuan, apa yang diramalkan Prof. Melalatoa kini sudah terbukti. Hal ini didasarkan pada fakta saat ini, lanjut Yuhdi, anak-anak sekolah dasar di Takengon sudah tidak bisa berbahasa Gayo bahkan orang tuanya menyarankan anak-anak mereka berbahasa Indonesia sehari-hari agar tidak malu bergaul bersama temannya di sekolah.
“Bisa dibayangkan beberapa tahun kedepan, bahasa Gayo sudah tidak lagi popular dan tidak lagi digunakan di Takengon dan akan dilupakan sejarah”, tegas Yuhdi. Setelah pembahasan buku tata bahasa Gayo digelar. Para mahasiswa dan masyarakat yang hadir sepakat untuk mulai membahas dan mewacanakan upaya pelestarian bahasa Gayo dengan apa yang disebut semacam “Balai Bahasa Gayo” dan rutin melakukan diskusi tentang bahasa. Diperlukan peran Pemerintah Daerah saat ini untuk melestarikan bahasa Gayo dengan lebih menguatkan bahasa Gayo dalam pendidikan, muatan local (www.rakyataceh,com/ashaf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar