Kamis, 01 Desember 2011


Tari Guel di Dataran Tanah Tinggi Gayo
Oleh Ansar Salihin








Yusra Habib Abdul Gani dalam tulisannya yang berjudul “ Falsafah Tari Guel” Tari Guel adalah mesium gerak tampa bangunan,  tempat menyimpan sejarah Gayo, gerak Tari Guel menggambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudaranya sendiri. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukan satu satunya dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak bengsu muyang mersa) membuktikan bahwa ketika enam saudara kandungnya menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam sumur tua dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, merah mege selamat dan tidak jadi mati. Motif pembunuhan Merah Mege  dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan pengaruh, kekuasaan, iri hati dan dengki.

Kisah pembunuhan tersebut awal lahirnya Tari Guel pada masa kerajaan reje linge. Kerajaan Lingga atau Linge di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" Kutaraja: 1959. sekitar abad ke-11 Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Menurut cerita orang dahulu, Tari Guel merupakan tarian yang menyerupai gerakan seekor gajah berasal dari Linge. serangkaian cerita seorang anak raja yang ingin balas dendam kepada saudaranya, atas kematian Bener Merie. Kesedihannya terhadapa kematian saudaranya anak raja ini pergi ke hutan dan bertapa untuk mengubah dirinya menjadi seekor Gajah Putih.

Saat kembali ke Linge dalam keadaan telah berubah menjadi seekor gajah dia datang dan menghancurkan desa itu. saat itulah masyarakat memukul Gendang, Canang dan lainnya untuk menenangkan gajah tersebut. Oleh karena itu tarian ini disebut 'Tari Guel.

Gerakan Tari Guel
a.       Munatap
Menggambarka eksistensi diri dan kesadaran, di mana gajah putih yan enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh segenda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut tari guel (tari berirama)

b.      Redep
Bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jari penari sesekali terbenam dalam lipatan “opoh ulen-ulen” tahap ini adalah proses belajar, meniru dan berfikir. Disini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan berfikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat.

c.       Ketibung
Ditandai dengan gerak hentakan kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi, mengangkat dan menurunkan atau memutar mutar kedua tangan, dikombinasikan dengan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, dimana manusia berhadapan dengan dua pilihan, menginjak atau diinjak, membunuh atau dibunuh, tuan atau budak, menguasai atau dikuasai.


d.      Gerak Kepur Nunguk
Gerak ini mengepak-ngepakan opoh ulen-ulen, sambil berputar-putar, maju dan mundur. Gerakanya sangat agresif dan menantang. Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menunutut semua anasir atau atau debu-debu, yang menodai supaya disingkirkan. Artinya, tangan siapa sih yang tidak kotor. Tangan kita mengotori Negara, bangsa, budaya dan bahasa.  Tangan yang dimaksud disisni adalah kekuasaan.


e.       Gerak Seneng Lintah Atau Sengker Kalang
Geraknya menggelempar, memiringkan tubuh bagaikan gerakan elang yang mau menyamar mangsa. Inilah gerakan burung elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang meliu-liuk dalam air.  Berarti masalah mesti dilihat bukan dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Gerak ini menggambarkan tahap peringkat aksi, cermat, kosentrasi dan terarah.

f.        Gerak Cicang Nangka
Merupakan rangkain terakhir aksi memasuki diri kedalam kemajmukan. Hal ini bermakna bahwa individu larut dalam kebersamaan. Melalui gerak tersebut yan dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukan bahwa apapun masalah, mesti  diselesaikan dengan mengikut sertakan orang lain. **)

*) Penulis Adalah anaka muda kelahirah di Negeri Berpayung Hujan Berselimut Kabut, Kepies Kabupaten Bener Meriah, Peovinsi Aceh. Sedang menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jurusan Seni kriya. Sehari-hari bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat. melalu Kuflet ia terus berkesenian, dan menulis. Karya tulisnya seperti puisi, cerpen, esay, artikel, berita dan sebagainya, pernah terbit di media cetak dan media online.
**) Tulisan ini di kutip dari tesis budi arianto, pasca sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul pertunjukan hikayak cantoi karya sulaiman juned konflik politik di aceh 1989-2005. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar